Beranda | Artikel
MENJAGA PERASAAN ANAK
Kamis, 13 Oktober 2022

Silsilah Fiqih Pendidikan Anak – No: 57

Sebagaimana orang dewasa, anak-anak juga memiliki perasaan. Bahkan emosi anak berbeda-beda sesuai dengan perkembangan usianya. Lalu, bagaimanakah menjaga perasaan anak?

Menjaga perasaan anak dimulai sejak dini, bahkan ketika si anak masih dalam kandungan. Oleh karenanya, perlu untuk menjaga kondisi emosi Ibu saat hamil, agar Ibu tidak mengalami stres, yang akhirnya berpengaruh terhadap janin.

Setelah anak lahir, menyusui adalah salah satu cara untuk menjaga perasaan anak. Dengan menyusui, membangun kedekatan antara ibu dan anak yang kemudian memunculkan perasaan tenang dan nyaman bagi anak. Anak dengan usia di bawah satu bulan belum bisa melihat dengan jelas, ada yang mengatakan bahwa anak dalam usia ini baru bisa melihat objek di sekitarnya secara vertikal. Sehingga, dalam fase ini suara-suara yang didengar menjadi suatu hal yang sangat penting. Bagi orang tua, hindari suara membentak. Adapun setelah anak bisa melihat, perlihatkanlah ekspresi yang menyenangkan bagi anak.

Dalam memahami emosi anak, perlu diketahui mengenai karakter anak yang berbeda-beda. Ada anak yang cenderung mudah beradaptasi dengan hal baru dan mudah bersosialisasi. Ada pula anak yang cenderung sulit beradaptasi dengan hal baru. Jika menangis, maka sulit ditenangkan. Dan ada pula yang berada di antara dua kategori ini.

Perlukah orang tua marah?

Marah bukan berarti tidak sayang, dan sayang bukan berarti tidak marah. Namun, terlalu sering marah-marah dengan alasan sayang, atau tidak pernah marah dengan alasan sayang juga bukanlah sikap yang bijak. Dalam pengasuhan anak, banyak hal yang mungkin dapat memicu kemarahan orang tua, tinggal bagaimana orang tua bisa menentukan kapan harus marah, dan dengan cara seperti apa.

Kita juga tidak mau digitukan

Perasaan anak pada dasarnya sama dengan adab kita dalam memperlakukan manusia pada umumnya. Sebagaimana kita yang tidak suka dibohongi, diancam, diabaikan, diremehkan, tidak suka jika orang lain fokus pada kesalahan kita, padahal banyak hal positif yang sudah diikhtiarkan. Kita juga tidak suka kesalahan kita diungkit-ungkit, tidak suka dihina atau direndahkan. Kita tidak suka jika orang lain marah dengan cara yang berlebihan, tidak suka dituntut berubah secara instan dan tidak suka bila tidak didengar. Kita tidak suka bila semua hal yang kita mau dilarang, dan akan lebih suka jika mendapat penjelasan tentang apa yang boleh dan tidak boleh, dan alasan mengapa hal tersebut dilarang. Kita tidak suka dicurigai, kita tidak suka dibanding-bandingkan tanpa alasan, kita tidak suka diperlakukan dengan kasar, tentu manusia suka diperlakukan dengan penuh cinta. Begitulah seharusnya kita menjaga perasaan anak kita.

Kemudian juga penting memperlakukan anak dengan kacamata usia dan menyesuaikan dengan tahapan perkembangan mereka, bukan dengan kacamata status mereka dalam keluarga, apakah anak pertama, terakhir, tunggal, atau anak kembar. Ketika menggunakan kacamata apakah sulung, atau bungsu, dikhawatirkan misalnya orang tua masih menganggap anak sebagai anak “bungsu” di saat si anak sudah beranjak dewasa.

Bagaimana dengan sistem hukuman?

Terkadang hukuman ini bertahan tidak lama di anak. Bahkan anak yang cenderung punya agresivitas tinggi ketika mendapatkan hukuman cenderung melawan. Cara terbaik untuk anak jenis ini adalah dengan memberi hadiah. Jika perilaku negatif muncul, orang tua bisa mengabaikan atau mengambil kesenangan anak.

@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 25 Syawal 1436 / 10 Agustus 2015

* Diadaptasi dan diringkas oleh Abdullah Zaen, Lc., MA dari http://andinavika.tumblr.com/post/124989715729/menjaga-perasaan-anak


Artikel asli: https://tunasilmu.com/menjaga-perasaan-anak/